HUKUM PERIKATAN
1. Pengertian Perikatan
Hukum
perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua
orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak
berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan
dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat
dituntut dinamakan prestasi.
Didalam
hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan
undang – undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak,
dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum,
sebagaimana yang telah diatur dalam undang – undang. Hubungan hukum yang
terjadi akibat perjanjian adalah perikatan. Dengan kata lain, hubungan
perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan.
2. Dasar
Hukum Perikatan
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut :
1. Perikatan yang timbul
dari persetujuan (perjanjian)
2. Perikatan yang timbul
dari undang – undang
Perikatan
yang berasal dari undang – undang di bagi menjadi undang – undang saja dan
undang – undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam pasal 1352 KUHP
:” perikatan yang dilahirkan dari undang – undang, timbul dari undang – undang
saja atau dari undang –undang sebagai akibat perbuatan orang”.
1) Perikatan
terjadi karena undang – undang semata
Perikatan
yang timbul dari undang – undang saja adalah perikatan yang letaknya diluar
buku III, yaitu yang adadalam pasal 104 KUHP mengenai kewajiban alimentasi
antara orang tua dan anak yang lain dalam pasal 625 KUHP mengenai hukum
tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik – pemilik pekarangan yang
berdampingan.
Diluar
dari sumber –sumber perikatan yang telah dijelaskan diatas terdapat pula sumber
–sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan
perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran,
keputusan hakim. Berdasarkan keadilan maka hal – hal termasuk dalam sumber –
sumber perikatan.
2) Perikatan
terjadi karena undang – undang akibat perbuatan manusia
3) Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum dan
perwakilan sukarela.
3. Azas-azas
dalam Hukum Perikatan
1. Asas kebebasan
berkontrak
Asas
kebebasan berkontrak terlihat didalam pasal 1338 KUHP perdata yang menyebutkan
bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan
demikian cara ini dkatakan “sistem terbuka” artinya bahwa dalam membuat
perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya
dan sebagi undang – undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian
yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang – undang,
keterlibatan umum, dan norma kesusilaan.
Asas ini merupakan suatu asas
yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
1) Membuat
atau tidak membuat perjanjian
2) Mengadakan
perjanjian dengan siapa pun
3) Menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya
4) Menentukan
bentuk perjanjiannya apakan tertulis atau lisan.
2. Asas
konsensualisme
Asas
ini berarti bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat
anatara pihak megenai hal – hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu
formalitas. Dalam pasal 1320 KUHP perdata, untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikat
diri, yaitu :
1) Kata
sepakat antara pihak yang mengikat diri
Yakni para pihak yang
mengadakan perjanjian yang harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang
pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2) Cakap
untuk membuat suatu perjanjian
Artinya bahwa pihak harus cakap
menurut hukum yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak dibawah
pengampunan.
3) Mengenai
suatu hal tertentu
Merupakan apa yang kan
diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap – tiap pihak,
sehingga tidak kan terjadi suatu perselihan antara para pihak.
4) Suatu
sebab yang halal
Artinya isi perjanjian itu
harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang – undang,
kesusilaan, atau ketertiban umum.
4. Hapusnya
Perikatan
Perikatan
dapat dihapus jika memenuhi kriteria – kriteria sesuai dengan pasal 1381 KUH
perdata. Ada 10 cara penghapusan suatu perikatan, sebagai berikut :
1) Pembayaran
: Pelaksanaan pemenuhan tiap perjanjian sukarela, artinya tidak dengan paksaan
atau eksekusi.
Pihak
yang wajib membayar yaitu
:
a. Debitur
b. Seorang
pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, melainkan orang ketiga tersebut
bertindak atas nama untuk melunasi utangnya debitur atau pihak ketiga yang
bertindak atas namanya sendiri.
2) Penawaran
pembaayaran tunai di ikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi)
Undang
– undang memberikan kemungkinan kepada debitur yang tidak dapat melunasi
utangnya karena tidak mendapatkan bantuan dari kreditur, untuk membayar
hutangnya denganjalan penawaran pembayaran yang dikuti dengan penitipan.
Penawaran pembayaran di ikuti dengan penitipan hanya dimungkinkan pada
perikatan untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan barang – barang
bergerak.
Apabila
penawaran pembayaran tidak diterima, debitur dapat menitipkan apa yang ia
tawarkan.
3) Pembaharuan
hutang (inovatie) / Novasi : suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya suatu
perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang
ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
4) Penjumpaan
utang (kompensasi) : salah satu cara hapusnya perikatan yang disebabkan oleh
keadaan, dimana dua orang masing – masing merupakan debitur satu dengan yang
lainnya.
5) Pembebasan
hutang : perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskaan haknya
untuk menagih piutangnya dari kreditur. Pembebasan hutang tidak mempunyai
bentuk tertentu melainkan adanya persetujuan dari kreditur.
7) Pencampuran
hutang (konfusio)
8) Kebatalan
dan pembatalan perikatan – perikatan
9) Berlakunya
suatu syarat batal
10) Dan
lewatnya waktu (daluwarsa)
HUKUM PERJANJIAN
1. Standar
Kontrak
Adalah
perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa
formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan
kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen
(Johannes Gunawan).
Perjanjian
yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman)
Perjanjian
baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun
yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu
secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak
lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi
penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal
yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Menurut
Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus :
1) Kontrak
standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh
kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2) Kontrak
standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya
dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Jenis-jenis
kontrak standar
Ditinjau dari segi pihak mana
yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada
konsumen secara massal,
dapat dibedakan menjadi:
1) kontrak
standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur;
2) kontrak
standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak;
3) kontrak
standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.
Ditinjau dari format atau
bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapat dibedakan dua bentuk
kontrak standar, yaitu:
a) kontrak
standar menyatu;
b) kontrak
standar terpisah.
Ditinjau dari segi
penandatanganan perjanjian
dapat dibedakan, antara:
a) kontrak
standar yang baru dianggap mengikat saat ditandata- ngani;
b) kontrak
standar yang tidak perlu ditandatangani saat penutupan
2. Macam-macam
Perjanjian
1) Perjanjian
dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
Perjanjian
dengan Cuma-Cuma : pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain
tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2)
KUHPerdata)
Perjanjian
dengan beban : salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain
dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2) Perjanjian
sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak : hanya
terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
Perjanjian timbal balik :
memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3) Perjanjian
konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian konsensuil :
perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak
yang mengadakan perjanjian tersebut.
Perjanjian formil : perjanjian
yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis.
Perjanjian riil : suatu
perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4) Perjanjian
bernama, tidak bernama dan campuran
Perjanjian bernama : perjanjian
dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu
dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.
Perjanjian tidak bernama :
perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
Perjanjian campuran : perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.
3. Syarat
Sahnya Perjanjian
Dalam
Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat, yaitu:
Sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian
itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan
tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
Kecakapan, yaitu
bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut
hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai
kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan
perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.
Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian yakni:
- Orang yang belum
dewasa.
Mengenai kedewasaan
Undang-undang menentukan sebagai berikut:
a) Menurut Pasal 330 KUH
Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur
21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
b) Menurut Pasal 7
Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang
Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah
mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16
tahun.
1) Mereka
yang berada di bawah pengampuan.
2) Orang perempuan dalam
hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang
Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
3) Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang
untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Mengenai
suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut
harus mengenai suatu obyek tertentu. Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan
tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban Syarat No.1
dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya
atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat No.3 dan No.4
disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila
syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak
untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta
pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi,
perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan
pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut. Sedangkan apabila syarat obyektif
yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak
semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan.
4. Pembatalan
dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pengertian
pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam kemungkinan alasan, yaitu
pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena adanya
wanprestasi dari debitur.
Pembatalan dapat dilakukan
dengan tiga syarat yakni:
1. Perjanjian
harus bersifat timbal balik (bilateral)
2. Harus
ada wanprestasi (breach of contract)
3. Harus
dengan putusan hakim (verdict)
Pelaksanaan
Perjanjian
Yang
dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban
yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai
tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan
penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan
penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih
dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang dulu
baru kemudian pembayaran.
Pembayaran
1. Pihak
yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur yang menjadi pihak dalam
perjanjian
2. Alat
bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang
3. Tempat
pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian
4. Media
pembayaran yang digunakan
5. Biaya
penyelenggaran pembayaran
Penyerahan
Barang
Yang
dimaksud dengan lavering atau transfer of ownership adalah penyerahan suatu
barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain
ini memperoleh hak milik atas barang tersebut. Syarat- syarat penyerahan barang
atau lavering adalah sebagai berikut:
1. Harus
ada perjanjian yang bersifat kebendaan
2. Harus
ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang sering digunakan yaitu
teori kausal dan teori abstrak
3. Dilakukan
orang yang berwenang mengusai benda
4. Penyerahan
harus nyata
Penafsiran
dalam Pelaksanaan Perjanjian
Dalam
suatu perjanjian, pihak- pihak telah menetapkan apa- apa yang telah disepakati.
Apabila yang telah disepakati itu sudah jelas menurut kata- katanya, sehingga
tidak mungkin menimbulkan keraguan- keraguan lagi, tidak diperkenankan
memberikan pengewrtian lain. Dengan kata laintidak boleh ditafsirkan lain
(pasal 1342 KUHPdt).
Adapun
pedoman untuk melakukan penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian, undang- undang
memberikan ketentuan- ketentuan sebagai berikut:
1) Maksud
pihak- pihak
2) Memungkinkan
janji itu dilaksanakan
3) Kebiasaan
setempat
4) Dalam
hubungan perjanjian keseluruhan
5) Penjelasan
dengan menyebutkan contoh
6) Tafsiran
berdasarkan akal sehat
5. Wanprestasi
Suatu
perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang
lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Menilik
semacamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian – perjanjian ini
dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1) Perjanjian
untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya jual beli, tukar menukar,
penghibahan, sewa menyewa, pinjaman pakai.
2) Perjanjian
untuk berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk membuat suatu lukisan
perjanjian perburuhan
3) Perjanjian
untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu
perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain.
Wanprestasi
Apabila
si berhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan, maka ia melakukan
wanprestasi. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam, antaralain :
1) Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
2) Melaksanakan
apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan janjinya
3) Melaksanakan
apa yang dijanjikannya tapi terlambat
4) Melakukan
suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
Akibat
– akibat wanprestasi berupa hukuman atau akibat – akibat bagi debitur yang
melakukan wanprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1) Membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi)
2) Pembatalan
perjanjian atau pemecahan perjanjian
Pembatalan
perjanjian harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun
debitur nyata – nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak bersifat
declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu.
Putusan hakim tidak berbunyi “menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat
dan tergugat” melainkan, membatalkan perjanjian.”
Hakim
harus mempunyai kekuasaan discretionair , artinya : kekuasan untuk menilai
besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan
perjanjian yang mungkin menimpa debitur.
3) Peralihan
resiko
Adalah
kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan
salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan
pasal 1237 KUH perdata.
HUKUM DAGANG
1. Pengertian
Hukum Dagang
1) Hukum Dagang adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut
melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan atau hukum yang mengatur
hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan
perdagangan.
2) Hukum Dagang adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu
dan lainnya dalam bidang perniagaan.
3) Hukum Dagang adalah hukum perdata khusus, KUH Perdata merupakan lex generalis
(hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus).
Maka,
bisa kita tarik kesimpulan bahwa, Hukum Dagang adalah hukum, aturan, hukum
perdata khusus yang mengatur tingkah laku manusia di bidang perdagangan, tidak
terlepas dari aturan Hukum Perdata yang menjadi hukum diatas segala hukum.
2. Hubungan
Hukum Perdata dengan Hukum Dagang
Hukum
perdata adalah ketentuan yang mengatur hak – hak dan kepentingan natara
individu – individu dalam masyarakat. Hukum dagang adalah hukum yang mengatur
tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh
keuntungan atau hukum yang mengatur hubungan hukumantara manusia dan badan –
badan hukumsatu sama lainnya dalam lapangan perdagangan.
Hukum
dagang adalah hukum perdata khusus, KUH perdata merupakan lex generalis ,
sedangkan KUHD merupaka hukum khusus. Khusu untuk hukum perdagangan, kitab
undang – undang hukum dagang dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat
dengan KUHPerdata, khususnya buku III.
Sifat
hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak – pihak yang
mengadakan perjanjian. Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata.
Namun seiring berjalannya waktu hukum dagang mengumpulkan aturan – aturan
hukumnya sehingga terciptalah kitab undang-undang hukum dagang yang sekarang
telah berdiri sendiri atau terpisah dari kitab – kitab undnag – undang hukum
perdata. Antara hukum perdata dan hukum dagang mempunyai hubungan erat, hal ini
dapat dilihat dari isi pasal 1 KUH dagang
yang isinya sebagai berikut :
“adapun mengenai hubungan tersebut adalah
hukum yang khusus : KUH dagang mengkesampingkan hukum yang umum : KUH perdata.”
3. Hubungan
Pengusaha dan Pembantunya
Pengusaha
adalah seseorang yang melakukan atau menyuruh melakukan perusahaannya. Dalam
menjalankan perusahaannya pengusaha dapat :
1) Melakukan
sendiri, bentuk perusahaannya sangat sederhana dan semua pekerjaan dilakukan
sendiri, merupakan perusahaan perseorangan.
2) Dibantu
oleh orang lain, pengusaha turut serta dalam melakukan perusahaan, jadi bila
mempunyai dua kedudukan yaitu sebagi pengusaha dan pemimpin dan merupakan
perusahaan besar
3) Menyuruh
orang lain melakukan usaha sedangkan dia tidak ikut serta dalam melakukan
perusahaan, hanya memiliki satu kedudukan sebagai seorang pengusaha dan
perusahaan besar.
Pembantu
– pembantu dalam perusahan dapat dibagi menjadi 2 fungsi :
1) Membantu
dalam perusahaan
Bersifat sub ordinasi, yaitu
hubungan atas dan bawah sehingga berlaku suatu perjanjian perburuhan.
2) Membantu
di luar perusahaan
Bersifat koordinasi, yaitu
hubungan yang sejajar, sehingga berlaku suatu perjanjan pemberian kuasa yang
akan memperoleh upah.
4. Kewajiban
Pengusaha
Pengusaha
adalah setiap orang yang menjalankan perusahaan. Menurut undang – undang, ada
dua macam kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan, yaitu :
1) Menurut
pembukuan (sesuai dengan pasal 6 KUH dagang undang – undang nomor 8 tahun 1997
tentang dokumen perusahaan), dan didalam pasal 2 undang – undang nomor 8 tahun
1997 yang dikatakan dokumen perusahaan adalah terdiri dari dokumen keuangan dan
dokumen lainnya.
a) Dokumen
keuangan terdiri dari neraca tahunan, perhitungan laba, rekening jurnal
transaksi harian.
b) Dokumen
yang terdiri dari data setiap tulisan yang berisi keterangan yang mempunyai
nilai guna bagi perusahaan, meskipun tidak terkait langsung dengan dokumen
keuangan.
2) Mendaftarkan
perusahaan (sesuai undang – undang nomor 3 tahun 1982 tentang wajib daftar
perusahaan)
Dengan
adannya undang – undang nomor 3 tahun 1982 tentang wajib perusahaan maka setiap
orang atau badan yang menjalankan perusahaan, menurut hukum wajib untuk
melakukan pendaftaran tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan usahanya.
Sumber
Referensi :
http://inatesia.blogspot.co.id/2015/04/hukum-perikatan-hukum-perjanjian-dan.html