Sabtu, 17 Oktober 2015

HUKUM PERIKATAN, HUKUM PERJANJIAN DAN HUKUM DAGANG

HUKUM PERIKATAN
1.    Pengertian Perikatan
Hukum perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi.
Didalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang – undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam undang – undang. Hubungan hukum yang terjadi akibat perjanjian adalah perikatan. Dengan kata lain, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan.

2.    Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2. Perikatan yang timbul dari undang – undang
Perikatan yang berasal dari undang – undang di bagi menjadi undang – undang saja dan undang – undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam pasal 1352 KUHP :” perikatan yang dilahirkan dari undang – undang, timbul dari undang – undang saja atau dari undang –undang sebagai akibat perbuatan orang”.
1)    Perikatan terjadi karena undang – undang semata
Perikatan yang timbul dari undang – undang saja adalah perikatan yang letaknya diluar buku III, yaitu yang adadalam pasal 104 KUHP mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak yang lain dalam pasal 625 KUHP mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik – pemilik pekarangan yang berdampingan.
Diluar dari sumber –sumber perikatan yang telah dijelaskan diatas terdapat pula sumber –sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, keputusan hakim. Berdasarkan keadilan maka hal – hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
2)    Perikatan terjadi karena undang – undang akibat perbuatan manusia
3)   Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum dan perwakilan sukarela.

3.    Azas-azas dalam Hukum Perikatan
1.      Asas  kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat didalam pasal 1338 KUHP perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian cara ini dkatakan “sistem terbuka” artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagi undang – undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang – undang, keterlibatan umum, dan norma kesusilaan.
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
1)      Membuat atau tidak membuat perjanjian
2)      Mengadakan perjanjian dengan siapa pun
3)      Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya
4)      Menentukan bentuk perjanjiannya apakan tertulis atau lisan.

2.      Asas konsensualisme
Asas ini berarti bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat anatara pihak megenai hal – hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dalam pasal 1320 KUHP perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikat diri, yaitu :
1)      Kata sepakat antara pihak yang mengikat diri
Yakni para pihak yang mengadakan perjanjian yang harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2)      Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Artinya bahwa pihak harus cakap menurut hukum yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak dibawah pengampunan.
3)      Mengenai suatu hal tertentu
Merupakan apa yang kan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap – tiap pihak, sehingga tidak kan terjadi suatu perselihan antara para pihak.
4)      Suatu sebab yang halal
Artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang – undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

4.    Hapusnya Perikatan
Perikatan dapat dihapus jika memenuhi kriteria – kriteria sesuai dengan pasal 1381 KUH perdata. Ada 10 cara penghapusan suatu perikatan, sebagai berikut :
1)    Pembayaran : Pelaksanaan pemenuhan tiap perjanjian sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.

Pihak yang wajib membayar yaitu :      
a.   Debitur
b. Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, melainkan orang ketiga tersebut bertindak atas nama untuk melunasi utangnya debitur atau pihak ketiga yang bertindak atas namanya sendiri.
2)  Penawaran pembaayaran tunai di ikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi)
Undang – undang memberikan kemungkinan kepada debitur yang tidak dapat melunasi utangnya karena tidak mendapatkan bantuan dari kreditur, untuk membayar hutangnya denganjalan penawaran pembayaran yang dikuti dengan penitipan. Penawaran pembayaran di ikuti dengan penitipan hanya dimungkinkan pada perikatan untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan barang – barang bergerak.

Apabila penawaran pembayaran tidak diterima, debitur dapat menitipkan apa yang ia tawarkan.
3)    Pembaharuan hutang (inovatie) / Novasi : suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya suatu perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
4)     Penjumpaan utang (kompensasi) : salah satu cara hapusnya perikatan yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing – masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya.
5)    Pembebasan hutang  : perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskaan haknya untuk menagih piutangnya dari kreditur. Pembebasan hutang tidak mempunyai bentuk tertentu melainkan adanya persetujuan dari kreditur.
6)    Musnahnya barang yang berhutang
7)    Pencampuran hutang (konfusio)
8)    Kebatalan dan pembatalan perikatan – perikatan
9)    Berlakunya suatu syarat batal
10)  Dan lewatnya waktu (daluwarsa)

HUKUM PERJANJIAN
1.    Standar Kontrak
Adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan). 
 Perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman)
Perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.

Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus :
1)   Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2)  Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.

Jenis-jenis kontrak standar
Ditinjau dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada konsumen secara massal, dapat dibedakan menjadi:
1)    kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur;
2)    kontrak standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak;
3)    kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.
Ditinjau dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapat dibedakan dua bentuk kontrak standar, yaitu:
a)       kontrak standar menyatu;
b)      kontrak standar terpisah.
Ditinjau dari segi penandatanganan perjanjian dapat dibedakan, antara:
a)       kontrak standar yang baru dianggap mengikat saat ditandata- ngani;
b)      kontrak standar yang tidak perlu ditandatangani saat penutupan

2.    Macam-macam Perjanjian
1)    Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
Perjanjian dengan Cuma-Cuma : pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata)
Perjanjian dengan beban : salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2)    Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak : hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
Perjanjian timbal balik : memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3)    Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian konsensuil : perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
Perjanjian formil : perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis.
Perjanjian riil : suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4)    Perjanjian bernama, tidak bernama dan campuran
Perjanjian bernama : perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.
Perjanjian tidak bernama : perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
Perjanjian campuran : perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.

3.    Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian  harus cakap menurut hukum,  serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang  oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.  Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:
-   Orang yang belum dewasa.
Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
a) Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
b) Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.
1)   Mereka yang berada di bawah pengampuan.
2) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
3)   Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu. Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian  haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan  ketertiban Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan  syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut. Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

4.  Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pengertian pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam kemungkinan alasan, yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur.
Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:
1.      Perjanjian harus bersifat timbal balik (bilateral)
2.      Harus ada wanprestasi (breach of contract)
3.      Harus dengan putusan hakim (verdict)
Pelaksanaan Perjanjian
Yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.
Pembayaran
1.      Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur yang menjadi pihak dalam perjanjian
2.      Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang
3.      Tempat pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian
4.      Media pembayaran yang digunakan
5.      Biaya penyelenggaran pembayaran
Penyerahan Barang
Yang dimaksud dengan lavering atau transfer of ownership adalah penyerahan suatu barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas barang tersebut. Syarat- syarat penyerahan barang atau lavering adalah sebagai berikut:
1.     Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan
2.     Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang sering digunakan yaitu teori kausal dan teori abstrak
3.      Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda
4.      Penyerahan harus nyata
Penafsiran dalam Pelaksanaan Perjanjian
Dalam suatu perjanjian, pihak- pihak telah menetapkan apa- apa yang telah disepakati. Apabila yang telah disepakati itu sudah jelas menurut kata- katanya, sehingga tidak mungkin menimbulkan keraguan- keraguan lagi, tidak diperkenankan memberikan pengewrtian lain. Dengan kata laintidak boleh ditafsirkan lain (pasal 1342 KUHPdt).
Adapun pedoman untuk melakukan penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian, undang- undang memberikan ketentuan- ketentuan sebagai berikut:
1)    Maksud pihak- pihak
2)    Memungkinkan janji itu dilaksanakan
3)    Kebiasaan setempat
4)    Dalam hubungan perjanjian keseluruhan
5)    Penjelasan dengan menyebutkan contoh
6)    Tafsiran berdasarkan akal sehat

5.    Wanprestasi
Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Menilik semacamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian – perjanjian ini dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1)    Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjaman pakai.
2)    Perjanjian untuk berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk membuat suatu lukisan perjanjian perburuhan
3)    Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain.
Wanprestasi
Apabila si berhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan, maka ia melakukan wanprestasi. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam, antaralain :
1)    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
2)    Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan janjinya
3)    Melaksanakan apa yang dijanjikannya tapi terlambat
4)    Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
Akibat – akibat wanprestasi berupa hukuman atau akibat – akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1)      Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi)
2)      Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Pembatalan perjanjian harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun debitur nyata – nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi “menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat” melainkan, membatalkan perjanjian.”
Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair , artinya : kekuasan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa debitur.
3)     Peralihan resiko
Adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan pasal 1237 KUH perdata.

HUKUM DAGANG
1.    Pengertian Hukum Dagang
1)   Hukum Dagang adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan.
2)    Hukum Dagang adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dan lainnya dalam bidang perniagaan.
3)     Hukum Dagang adalah hukum perdata khusus, KUH Perdata merupakan lex generalis (hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus).
Maka, bisa kita tarik kesimpulan bahwa, Hukum Dagang adalah hukum, aturan, hukum perdata khusus yang mengatur tingkah laku manusia di bidang perdagangan, tidak terlepas dari aturan Hukum Perdata yang menjadi hukum diatas segala hukum.
2.    Hubungan Hukum Perdata dengan Hukum Dagang
Hukum perdata adalah ketentuan yang mengatur hak – hak dan kepentingan natara individu – individu dalam masyarakat. Hukum dagang adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan atau hukum yang mengatur hubungan hukumantara manusia dan badan – badan hukumsatu sama lainnya dalam lapangan perdagangan.
Hukum dagang adalah hukum perdata khusus, KUH perdata merupakan lex generalis , sedangkan KUHD merupaka hukum khusus. Khusu untuk hukum perdagangan, kitab undang – undang hukum dagang dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPerdata, khususnya buku III.
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak – pihak yang mengadakan perjanjian. Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun seiring berjalannya waktu hukum dagang mengumpulkan aturan – aturan hukumnya sehingga terciptalah kitab undang-undang hukum dagang yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari kitab – kitab undnag – undang hukum perdata. Antara hukum perdata dan hukum dagang mempunyai hubungan erat, hal ini dapat dilihat dari isi pasal  1 KUH dagang yang isinya sebagai berikut :
       “adapun mengenai hubungan tersebut adalah hukum yang khusus : KUH dagang mengkesampingkan hukum yang umum : KUH perdata.”

3.    Hubungan Pengusaha dan Pembantunya
Pengusaha adalah seseorang yang melakukan atau menyuruh melakukan perusahaannya. Dalam menjalankan perusahaannya pengusaha dapat :
1)    Melakukan sendiri, bentuk perusahaannya sangat sederhana dan semua pekerjaan dilakukan sendiri, merupakan perusahaan perseorangan.
2)      Dibantu oleh orang lain, pengusaha turut serta dalam melakukan perusahaan, jadi bila mempunyai dua kedudukan yaitu sebagi pengusaha dan pemimpin dan merupakan perusahaan besar
3)   Menyuruh orang lain melakukan usaha sedangkan dia tidak ikut serta dalam melakukan perusahaan, hanya memiliki satu kedudukan sebagai seorang pengusaha dan perusahaan besar.
Pembantu – pembantu dalam perusahan dapat dibagi menjadi 2 fungsi :
1)      Membantu dalam perusahaan
Bersifat sub ordinasi, yaitu hubungan atas dan bawah sehingga berlaku suatu perjanjian perburuhan.
2)      Membantu di luar perusahaan
Bersifat koordinasi, yaitu hubungan yang sejajar, sehingga berlaku suatu perjanjan pemberian kuasa yang akan memperoleh upah.

4.    Kewajiban Pengusaha
Pengusaha adalah setiap orang yang menjalankan perusahaan. Menurut undang – undang, ada dua macam kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan, yaitu :
1)    Menurut pembukuan (sesuai dengan pasal 6 KUH dagang undang – undang nomor 8 tahun 1997 tentang dokumen perusahaan), dan didalam pasal 2 undang – undang nomor 8 tahun 1997 yang dikatakan dokumen perusahaan adalah terdiri dari dokumen keuangan dan dokumen lainnya.
a)  Dokumen keuangan terdiri dari neraca tahunan, perhitungan laba, rekening jurnal transaksi harian.
b)    Dokumen yang terdiri dari data setiap tulisan yang berisi keterangan yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan, meskipun tidak terkait langsung dengan dokumen keuangan.
2)    Mendaftarkan perusahaan (sesuai undang – undang nomor 3 tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan)
Dengan adannya undang – undang nomor 3 tahun 1982 tentang wajib perusahaan maka setiap orang atau badan yang menjalankan perusahaan, menurut hukum wajib untuk melakukan pendaftaran tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan usahanya.



Sumber Referensi :

http://inatesia.blogspot.co.id/2015/04/hukum-perikatan-hukum-perjanjian-dan.html