Selasa, 02 Februari 2016

PENYELESAIAN SENGKETA

SENGKETA  BISNIS
Menurut Maxwell J. Fulton, “a commercial disputes is one which arises during the course of the exchange or transaction process is central to market economy”. Dalam kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu – individu atau kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dngan yang lain.
Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum antara keduanya.
Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerja sama bisnis. mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dna masalah yang melatar belakanginya, terutama karena adanya  conflict of interest diantara para pihak. Sengketa yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis.

1.         Negosiasi
1.1       Pengertian Negosiasi
·    Proses yang melibatkan upaya seseorang untuk mengubah (atau tak mengubah) sikap dan perilaku orang lain.
·   Proses untuk mencapai kesepakatan yang menyangkut kepentingan timbal balik dari pihak-pihak tertentu dengan sikap, sudut pandang, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda satu dengan yang lain.
·  Negosiasi adalah suatu bentuk pertemuan antara dua pihak: pihak kita dan pihal lawan dimana kedua belah pihak bersama-sama mencari hasil yang baik, demi kepentingan kedua pihak.

1.2       Pola Perilaku dalam Negosiasi
·       Moving against (pushing): menjelaskan, menghakimi, menantang, tak menyetujui, menunjukkan kelemahan pihak lain.
·    Moving with (pulling): memperhatikan, mengajukan gagasan,  menyetujui, membangkitkan motivasi, mengembangkan interaksi.
·    Moving away (with drawing): menghindari konfrontasi, menarik kembali isi pembicaraan, berdiam diri, tak menanggapi pertanyaan.
·     Not moving (letting be): mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian pada “here and now”, mengikuti arus, fleksibel, beradaptasi dengan situasi.

1.3       Ketrampilan Negosiasi
1)             Mampu melakukan empati dan mengambil kejadian seperti pihak lain mengamatinya.
2)           Mampu menunjukkan faedah dari usulan pihak lain sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi bersedia mengubah pendiriannya.
3)              Mampu mengatasi stres dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tak pasti dan tuntutan di luar perhitungan.
4)             Mampu mengungkapkan gagasan sedemikian rupa  sehingga pihak lain akan memahami sepenuhnya gagasan yang diajukan.
5)         Memahami latar belakang budaya pihak lain dan berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan pihak lain untuk mengurangi kendala.

1.4       Teknik Negoisasi
Secara umum terdapat beberapa cara teknik negoisasi yang dikenal dapat dibagi kedalam:
1)      tahap negoisasi kompetitip
2)      tahap negoisasi koperatif
3)      tahap negoisasi lunak dan keras
4)      tahap negoisasi interest based

2.         Mediasi
2.1       Pengertian mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu olehmediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.

Prosedur Untuk Mediasi
• Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
• Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.
• Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang berperkara.
• Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.
Jika terdapat perdamaian, penetapan perdamaian tetap dibuat oleh majelis.

2.2       Mediator
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri-ciri penting dari mediator adalah :
1)      Netral
2)      Membantu para pihak
3)      Tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian
Jadi, peran mediator hanyalah membantu para pihak dengan cara tidak memutus atau memaksakan pandangan atau penilaiannya atas masalah-masalah selama proses mediasi berlangsung kepada para pihak.

Tugas Mediator
1.      Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihakuntuk dibahas dan disepakati.
2.      Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
3.      Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah selama proses mediasi berlangsung.
4.      Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

3.         Arbitrase
3.1       Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
1)      Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa oramg arbiter.
2)      Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri;
3)      Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak;
4)       Asas final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.
Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil,Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.
Selain itu Pengertian arbitrase juga termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:  “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa: ”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum makalahadedidiikirawandan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.

3.2       Sejarah Arbitrase
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Buiten Govesten  (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.

3.3       Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.

3.4       Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.

BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".

Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade Law) adalah sebagai berikut:
"Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”

Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.

3.5       Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
a)      kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
b)     keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari ;
c)      para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil ;
d)     para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya ;
e)       para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
f)       putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.

4.         Perbandingan Antara Perundingan, Arbitrase dan Legitasi
Adapun perbandingan antara Perundingan, Arbitrase dan Legitasi adalah :
Proses
Perundingan
Arbitrase
Legitasi
Yang mengatur
Para pihak
Arbiter
Hakim
Prosedur
Informal
Agak formal sesuai dengan rule
Sangat formal dan teknis
Jangka waktu
Segera ( 3-6 minggu )
Agak cepat ( 3-6 bulan )
Lama ( > 2 tahun )
Biaya
Murah ( low cost )
Terkadang sangat mahal
Sangat mahal
Aturan pembuktian
Tidak perlu
Agak informal
Sangat formal dan teknis
Publikasi
Konfidensial
Konfidensial
Terbuka untuk umum
Hubungan para pihak
Kooperatif
Antagonistis
Antagonistis
Fokus penyelesaian
For the future
Masa lalu
Masa lalu
Metode negosiasi
Kompromis
Sama keras pada prinsip hukum
Sama keras pada prinsip hukum
Komunikasi
Memperbaiki yang sudah lalu
Jalan buntu
Jalan buntu
Result
win-win
Win-lose
Win-lose
Pemenuhan
Sukarela
Selalu ditolak dan mengajukan oposisi
Ditolak dan mencari dalih
Suasana emosinal
Bebas emosi
Emosional
Emosi bergejolak


Sumber :